AKU DAN PERJALANAN
HIDUPKU
Oleh :
Isronudin Hasibuan*
Pagi
itu, rumput-rumput masih berselimut embun, dan kupu-kupu pun masih enggan
keluar dari sarangnya. Saat itu juga kepala sekolah kembali menyiramkan seteguk penyemangat
menumbuhkan rasa keinginan untuk kuliah kepada kami yang seumur jagung lagi di
Pesantren itu. Sekolah yang terlihat berbeda jika dibandingkan dengan sekolah
yang lain pada umumnya. Dimana, aktivitas siswa/i di sekolah luar sana mungkin
terlihat lebih sibuk, galau, dan dilema untuk memilih jurusan dan Universitas
yang akan menjadi labuhan mereka menggarap ilmu dan menata masa depan. Sehingga
dalam segi usaha, mereka terlihat lebih belajar keras dan lebih antusias jika dibandingkan
dengan kami yang tinggal di pelosok desa ini, bahkan diantara mereka ada juga
yang menambahkan jadwal belajarnya seperti les-les di tempat bimbingan dan lain
sebagainya.
Sedangkan kami, berbalik 180 derajat. Status para siswi
di kelas kami bukan tak mungkin sudah dijodohkan orangtuanya kepada calon mantu
idaman, bahkan ada juga yang sudah mengikat janji dengan pacarnya akan dibawa
kemana hubungan itu. Lalu, bagaimana dengan para siswa di kelas kami? Mereka
juga pasti sudah memiliki rencana untuk merantau ke kota mana, dengan siapa,
sebagai apa dan lain sebagainya. Tapi masih ada juga sekelompok kecil dari
gerumunan teman-temanku yang membicarakan hendak kuliah dimana, jurusan apa dan
lain sebagainya yang mengacu tentang masa depan. Hmmm,, bagaimana dengan Aku?
Yeah pertanyaan itulah yang selalu menghantui setiap hariku, bertebaran dan
berotasi dalam pikiran ini. Aku belum berani mengayuhkan kayu perahuku, belum
berani hendak berlayar kemana, akan singgah di pulau mana, atau perahu ini
malah membuatku nyaman dan tak ingin meninggalkannya, Aku bingung dan tak
mengerti
“Kuliah?”
Kata-kata itu sekilas ikut berotasi dibenakku, pelengkap halilintar dan
turunnya hujan di sore itu, (hhmmm sambil menghembuskan nafas), yah kuliah
adalah sesuatu yang tidak mungkin untuk ku gapai, sesuatu yang tak akan pernah
berpihak kepadaku dan sesuatu yang tak mungkin dapat kucicipi. Jawaban itu
mengalir begitu saja, menandakan tak adanya peluang atau sekedar harapan untuk
diri ini dapat merasakan hidup seberuntung mereka. Itu semua sebab akibat dari
kemiskinan, kenapa tidak? Ibuku hanyalah seorang janda tua yang mengais rezeki
dari bercocok tanam, sedangkan kata Ayah adalah sebuah ungkapan yang Aku
sendiri lupa kapan terakhir memanggil kata itu. Diakibatkan Truk kejam yang menghantam tubuh yang mulai rapuh itu. Benar,
hanya butuh beberapa detik untuknya menghilangkan nyawa Ayahku, tapi butuh
seumur hidup bagiku melupakan peristiwa sekejap yang melintas di depan mata
itu. Walau saat itu Aku masih berumur 4 tahun namun harus belajar hidup ikhlas tanpa seorang Ayah disampingku,
tanpa seorang Ayah melengkapi liku-liku hidup yang akan ku tempuh hari ini,
besok dan selamanya. “Iya, tanpa seorang Ayah.”
Melihat
Ibu yang setiap harinya harus lebih bekerja keras untuk kelangsungan hidup kami
yang tersisa 3 orang lagi, sedangkan 4 saudaraku sudah berkeluarga. Terkadang
Ibu harus menjadi sosok seorang Ayah yang pekerja keras, seperti buruh,
berladang dan berjualan. Namun terkadang juga harus menjadi sosok seorang Ibu
yang lembut dan memanjakan kami. Semua peran itu dilakoninya untuk kelanjutan
hidup kami.
Oleh
karena itulah Aku mulai sangat giat dalam hal belajar, semenjak kelas 1 SD
sampai kelas 3 SMA Aku tak pernah terlepas dari 3 besar di kelas. Karena jujur,
Aku tak mau menjadi seperti Ibu, dan tidak mau selamanya seperti ini.
Namun
pupus sudah harapanku itu, ketika Aku sendiri bingung berlayar kemana. Aku juga
ingin seberuntung mereka, tapi Aku masih takut akan dunia perkuliahan, Aku
takut tidak bisa hidup di rantau orang nanti akibat kemiskinan yang masih setia
berpihak kepadaku dan perasaan takut ini juga bercampur rasa khawatir, khawatir
ketika nanti Aku harus merelakan mendayung perahu ini pergi meninggalkan Ibu
yang sudah tua renta, Aku takut…
Rasa
takut itu sedikit terkikis setelah Pak Huraba atau Kepala sekolah kami
menyampaikan keberadaan Bidik Misi, Beasiswa untuk orang-orang miskin dan
berprestasi, kini Aku tahu akan mendayung kemana perahu ini, Aku hanya perlu
mengkobarkan semangat dan kepercayaan diri untuk mencapainya. Tapi, keinginanku
malah bertolak belakang dengan harapan Ibu, jawabannya singkat, tapi tidak
sesuai dengan yang kuharapkan. Benar, saat itu Ibu berhasil mematahkan
semangatku. Kecewa pasti, namun Aku berusaha memahaminya.
Hingga
hari terakhirpun pendaftaran SNMPTN aku masih tidak berani mendaftarkan diri
dan memilih untuk menuruti Ibu saja. Tapi Pak Huraba tidak sependapat denganku
“Percuma kamu juara umum, percuma kamu siswa terbaik di sekolah kita, kamu
harus daftar! kalau masalah uang nanti kita bicarakan.” singkat memang, tapi
kata-kata itulah yang menerobos bilik-bilik hati yang terdalam, seperti hujan
di tengah kemarau, dan kata-kata itulah yang merubah paradigma dan hidupku saat
ini. Hari itu aku resmi jadi peserta SNMPTN 2013, Saat itu aku tidak tahu menau
masalah jurusan tapi kuturuti saja pilihan-pilihan Pak Huraba itu. Walau
perasaanku ibarat sambal terasi dicampur madu, rasanya tak menentu seperti
permen nano-nano, begitulah ada rasa senang namun dihalangi rasa khawatir dan
sedih, tapi Aku tetap maju dan akan tetap maju demi sebuah perubahan.
Bersama
waktu, berbagai peristiwa begitu cepat berlalu, menyingkap lembaran-lembaran
takdir hidupku satu-persatu. Kini
tibalah saatnya hari yang tak akan mungkin bisa dilupakan oleh semua orang yang
pernah bersua dengan hari ini. Dimana pada
hari ini, akan banyak buih-buih kesedihan atau puing-puing keceriaan.
Karena takdir yang akan ikut campur dalam hari ini. Aku juga begitu dengan
perasaan optimis Aku dan Ibu bergegas pergi ke sekolah untuk pengumuman kelulusan
siswa-siswi. Seusai pengumuman, Alhamdulillah Ibu sangat bahagia setelah
mengetahui Aku jadi lulusan terbaik di sekolahku. Aku bahagia bukan karena jadi
lulusan terbaik, tapi sangat bahagia melihat senyum yang begitu amat bersinar
dari Ibu, mengalahkan sinar mentari kala itu, “terimakasih Ibu”.
Sebahagiaan
orang masih tetap memancarkan kebahagiaannya lewat status “Alhamdulillah lulus
hukum USU”, tapi sebahagian lagi malah meredup, sambil berusaha mengikhlaskan
dan ada juga yang sudah menyebarkan surat undangan pernikahannya. Bagaimana
dengan Aku? Pertanyaan itu kembali
menghantuiku, dengan rasa penasaran akhirnya ku menuju warnet yang berjarak 1
km dari rumah. Dengan bismillah satu-persatu ku input nomor pendaftaran,
berharap kali ini keberuntungan itu akan berpihak kepadaku. Alhamdulillah ya
Rabb, sambil sujud syukur air mata menetes perlahan membasahi pipi. Ketika
mengetahui aku lulus sebagai pelamar beasiswa Bidik Misi di USU. Rasa senang
ada, rasa takut juga ada. Senang karena aku bisa jadi mahasiswa, takut karena
belum dapat restu dari Ibu.
Kini
saatnya kaki harus melangkah ke bus yang akan mengantar ke kota medan sana,
entah seperti apa medan itu, sekejam apa kehidupan disana, Aku tak mengerti.
karena pengalaman perdana di medan ini. Jujur rasa takut menghantuiku, tapi
karena ambisi dan semangat untuk bisa hidup seperti mereka, rasa takut itu terkikis dan mulai hilang bersama waktu.
Uang
yang terkumpul hasil dari kerja kerasku sebagai buruh di sebuah perkebunan
selama libur UN dulu, ditambah uang pemberian sanak saudara. Terkumpul
alhamdulillah sekitar tiga juta.
Menurutku sudah sangat cukup sebelum uang beasiswa keluar, namun belum rezeki mungkin, karena sebagian uang
itu hilang seusai membayar kos. keadaan itu memaksaku menjadi seorang waiters
di sebuah restoran sekitar kos. Dan beberapa bulan setelah Aku bekerja akhirnya
beasiswaku keluar dan langsung memutuskan untuk keluar dari pekerjaanku dan
lebih fokus pada tujuan utama yakni kuliah. Gaji terakhir ku belikan mukenah
untuk ibu, dan sisanya ku transfer untuk biaya makannya disana. Saat itu, Aku
merasa sangat senang seolah-olah kebahagiaan itu telah berpihak padaku.
Tapi
ternyata kebahagiaan itu tak bertahan lama, hidupku seketika itu juga kembali
runtuh, hancur tanpa berkeping-keping. Aku hampir depresi, putus asa, merasa
bodoh menghujat dan menyalahkan diri sendiri.
Semua
itu diawali dari pertemuan yang tak ku sengaja, namun mungkin disengaja oleh
nya. Yah, namanya Ahmad dari Ekonomi pembangunan stambuk 2012. Sepulang dari
kuliah dengan langkah tertatih sudah merasa tak sabar ingin bermanja-manja di
kos tercinta. Tapi ternyata ada pemuda setengah baya menghampiri dan langsung
menyapaku berketepatan di taman Birek USU. Tanpa ku ceritakan panjang lebar
lagi, pertemuan yang membuatku hampir putus asa itu langsung saja ku lanjutkan
ke intinya, yah intinya dia nenawarkanku pekerjaan, yang katanya bisa sukses
dalam 1 atau 2 tahun, yang katanya jalan-jalan ke luar negeri, kapal pesiar,
motor scoopy dan lain sebagainya sudah mengantri menunggu kita, tinggal kita
kapan mengambilnya, apalagi kalau bukan MLM? aku sangat tertarik dan
mengorbankan beasiswaku sebagai modal awal, karena statusku sebaga mahasiswa
baru, ditambah dengan kondisi keuangan yang memang mengharuskanku mencari
pekerjaan. Aku begitu antusias menjalaninya sehingga Aku mulai lalai dengan
tujuan awal ke Medan ini, disebabkan biusan uang dan rutinitas yang selalu
memelukku. IP semester awal lumayan buruk sehingga Aku memilih berhenti dari
pekerjaanku. dan masih banyak lagi faktor-faktor yang membuatku memlih mundur
dari pekerjaan itu. Tapi kujadikan semua itu sebagai pelajaran hidup dan
penambah pengalaman, agar kedepannya lebih berhati-hati.
Karena
uang beasiswa habis, Aku kembali bekerja namun kali ini bukan sebagai waiters lagi, tetapi sebagai
guru private Matematika di sebuah perumahan sekitar USU. Alhamdulillah tidak
lama mengajar di tempat itu, Aku langsung ditawarkan tinggal disana secara
cuma-cuma, gaji tetap dikasih 600.000/ bulan nya. Ternyata masih ada keluarga
sebaik ini di kota sekacau ini. Dan benar, dibalik kesulitan pasti ada
kemudahan dan ampai saat ini Aku begitu dekat dengan keluarga kaya raya dan
baik hati ini.
Hingga
sekarang Aku tetap mengajar private dari tempat yang satu ke tempat yang lain,
untuk membiayai dan bertahan hidup di kota orang ini. Sulit memang, ketika
kawan-kawan kita punya banyak waktu luang kita malah disibukkan mencari sesuap
nasi, Tapi bahagia itu kita yang ciptakan bersyukur solusi paling tepat untuk
mengurangi mengeluh. Tanamkanlah..! Bukan Aku tak seberuntung mereka tapi
mereka yang tak seberuntung Aku.